Jumat, 20 Februari 2009

FATWA TENTANG GOLPUT

“Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.”Butir-butir yang menjadi landasan rekomendasi tersebut :butir ke-4 : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.butir ke-5 : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.butir ke-1 : Pemilihan Umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.Dan jika kita perhatikan dari point-point diatas tampak MUI begitu bijaksana dan sangat berhati-hati. Hal itu terlihat dari adanya tiga hukum yang terkait dengan penggunaan hak pilih didalam pemilihan umum :1. Dianjurkan (mandub atau sunnah) yang ada didalam rekomendasi.2. Wajib yang ada didalam butir ke-4.3. Haram namun dengan persyaratan yaitu, haram golput selama ada calon yang memenuhi syarat, pada butir ke-5.Didalam butir ke-5 tidak ada penjelasan rinci tentang kata-kata ‘memenuhi syarat’, apakah yang dimaksud syarat-syarat yang disebutkan didalam butir ke-1 atau butir ke-4 atau kedua-duanya.Isi butir ke-5 “….. atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” dan jika menggunakan pemahaman berbalik maka bisa diartikan dengan “…. atau tidak memilih sama sekali (golput) ketika tidak ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah tidak haram”Kemudian didalam Rekomendasinya MUI menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Kata-kata ‘menganjurkan’ berbeda dengan ‘mewajibkan’ begitu pula didalam konsekuensi hukumnya. Artinya seorang muslim yang melakukan perintah tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah swt dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidaklah tercela dan tidak juga mendapatkan dosa dari-Nya.Dari butir ke-5 dan rekomendasi tersebut tampak tidak ada pengharaman GOLPUT oleh MUI secara mutlak namun demikian MUI menganjurkan agar umat islam memilih orang-orang yang mengemban amar ma’ruf nahi munkar.Kemudian ukuran apakah seorang calon pemimpin atau wakil rakyat memenuhi syarat-syarat diatas atau tidak, siap mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar atau tidak akan berpulang kepada pengetahuan dan pemahaman setiap pemilih yang memungkinkan terjadinya perbedaan diantara mereka. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon pemimpin atau wakil rakyat telah memenuhi syarat namun tidak menurut yang lainnya. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon dapat mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar namun tidak menurut yang lainnya.Dengan demikian—wallahu a’lam—pada akhirnya putusan akan dikembalikan kepada ijtihad (upaya sungguh-sungguh) setiap pemilih muslim dalam melihat semua calon pemimpin maupun wakil-wakilnya dan hendaknya dia menghindari adanya faktor-faktor emosional didalam ijtihadnya itu, seperti : semata-mata hanya karena satu etnis, daerah, profesi, kelompok, organisasai atau balas jasa yang dapat merusak obyektifitas dalam memberikan penilaian. Dan keputusan apa pun yang dihasilkan seorang pemilih dari upayanya itu maka ia tidak akan keluar dari apa yang difatwakan MUI.Selama upaya tersebut diniatkan semata-mata beribadah kepada Allah dan untuk kebaikan islam dan kaum muslimin maka akan mendapatkan pahala dari Allah swt.Wallahu A’lam (Sumber: Eramuslim)

FATWA YANG TERKAIT MASALAH GOLPUT

Kedudukan FatwaPada bulan lalu tidak kurang 700 ulama negeri ini yang tergabung didalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berkumpul di Sumatera Barat dan diantara keputusannya adalah terkait dengan masalah golput didalam Pemilu.Fatwa atau ifta’ adalah penjelasan tentang hukum syar’i dari suatu permasalahan umat yang merupakan suatu jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Sedangkan orang yang melakukan tugas ini disebut dengan mufti. Ia adalah seorang yang mengetahui tentang hukum-hukum syari’ah, berbagai persoalan, kejadian dan telah dianugerahi dengan ilmu serta memiliki kemampuan untuk mengambil dari dalil-dalil hukum syar’i.Tugas ini begitu besar nilainya di sisi Allah swt sehingga seorang mufti dianggap sebagai wakil Allah didalam memberikan penjelasan tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Qur’an maupun Sunnah. Untuk itu Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa seorang mufti adalah ‘petugas resmi’ Allah terhadap apa yang difatwakannya. Firman Allah swt :يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِArtinya : “mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah.” (QS. An Nisaa : 176)Orang yang pertama bertugas memberikan penjelasan tentang hukum-hukum Allah swt kepada umat adalah Rasulullah saw, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’in hingga para ulama sampai dengan hari ini.Pemberian fatwa ini, selain dilakukan oleh perorangan (alim) ia juga bisa dilakukan oleh sekelompok orang (ulama) atau suatu lembaga fatwa di suatu tempat atau negeri tertentu, seperti MUI di Indonesia.Adapun terkait fatwa yang telah diambil seorang mufti atau lembaga fatwa maka pada dasarnya ia tidak mengikat kecuali terhadap : 1. Orang yang bertanya kepada mufti’.Syeikh Jadul Haq Ali Jadil Haq, Mufti di Negara Mesir pada tahun 80-an mengatakan bahwa sesungguhnya fatwa hanyalah sebatas penjelasan hukum syar’i terhadap realita yang ditanyakan. Karena itu fatwa tidaklah memiliki kekuatan mengikat namun demikian ia memiliki kekuatan mengikat terhadap orang yang meminta fatwa dari beberapa sisi :
a. Komitmen orang yang meminta fatwa untuk beramal takwa.
b. Upaya penerapan hukum yang telah disingkap melalui fatwa.
c. Apabila hatinya merasa nyaman dengan kebenaran fatwa dan mempercayainya maka ia terikat dengan fatwa tersebut.
d. Apabila upayanya memiliki keterbatasan terhadap permasalahan yang terjadi sementara ia tidak mendapati mufti selainnya maka ia harus mengambil fatwa tersebut.
Adapun apabila dia mendapatkan mufti lainnya yang sependapat dengan fatwa pertama maka ia terikat olehnya. Apabila berbeda diantara keduanya dan tampak kebenaran pada salah satunya maka ia harus mengamalkan fatwa yang tampak kebenarannya itu.2. Seorang mujtahid yang melihat fatwa tersebut dengan menggunakan dalil-dalil syar’i dan melihat bahwa fatwa tersebut benar.3. Orang-orang yang taqlid (tidak memiliki kapasitas ilmu terhadap permasalahan itu) dan meyakini kebenaran fatwa tersebut.Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa sesungguhnya fatwa mufti bersifat syari’at lagi umum berkaitan dengan orang yang bertanya ataupun selainnya. Adapun seorang hakim maka hukumnya bersifat parsial lagi khusus tidak menyangkut orang yang tidak dihukum. Seorang mufti memberikan fatwa dalam hal hukum yang umum lagi menyeluruh, yaitu siapapun orang yang melakukan hal itu maka ia termasuk didalamnya dan siapa pun yang mengatakan hal itu maka ia terikat dengan fatwa itu. Sedangkan hakim memutuskan suatu keputusan tertentu terhadap orang tertentu dan keputusannya itu bersifat khusus lagi mengikat. Dan fatwa seorang alim bersifat umum dan tidak mengikat. Keduanya mendapatkan pahala yang besar namun dengan resiko yang besar pula. (I’lamul Muwaqqi’in juz I hal 46)