Kamis, 22 April 2010

HARI BUMI : "MENJAGA BUMI TETAP FRESH"


Oleh M. Sigit Cahyono

ADA yang istimewa pada peringatan hari bumi tahun ini. Ribuan meteor Lyrids diperkirakan bakal jatuh bertubi-tubi menghujani atmosfer bumi pada 22 April 2010. Tetapi, yang menjadi pikiran adalah bukan ketakutan kelak bumi akan hancur terkena berondongan meteor, tetapi justru ketakutan jika tidak dapat melihat fenomena indah dan dahsyat itu.

Mengapa? Menurut astronom Griffith Observatory di Los Angeles, Anthony Cook, lokasi terbaik untuk melihat dan menikmati fenomena hujan meteor adalah sebuah tempat yang jauh dari daerah yang dipenuhi polusi. Yang patut kita renungkan sekarang, masih adakah tempat itu, sebuah tempat di bumi ini yang belum dipenuhi polusi?

Bumi Sudah Renta

Memang sangat hiperbolis jika kita menganggap tidak ada tempat di bumi yang belum dipenuhi polusi. Tetapi, kita tidak akan bisa memungkiri bahwa bumi ini sudah sangat renta, seakan-akan tidak ada satu wilayah pun di permukaannya yang bisa dikatakan fresh, tanpa ada tanda-tanda kerusakan.

Fenomena kerusakan yang terjadi di muka bumi begitu nyata dan membelalakkan mata, bahkan sampai tingkat dunia. Fenomena pemanasan global, seperti pencairan es di kutub, longsor, banjir, badai tropis, pencemaran air dan udara, seakan-akan menjadi menu yang kita santap sehari-hari tanpa tahu kapan berakhirnya.

Namun, kita tidak pernah sadar bahwa semua malapetaka itu berawal dari kita, manusia yang seharusnya menjadi khalifah di muka bumi. Praktik pengelolaan hutan yang merusak akan menjadikan bumi rentan terhadap bencana banjir, longsor, dan kekeringan. Di sisi lain, maraknya pertambangan liar telah menjadi sumber kerusakan air dan tanah, dan menjadi ancaman terhadap kehidupan seluruh penghuni alam ini. Belum lagi polusi udara yang ditimbulkan oleh asap-asap knalpot dan cerobong-cerobong pabrik, menjadikan udara ini tidak bersih lagi. Semua ini akan berdampak negatif terhadap kelangsungan alam ini.

Adanya bermacam fenomena ini menandakan bahwa bumi ini sudah bukan tempat yang layak untuk dihuni lagi. Kalau ada pilihan untuk mengungsi ke sebuah planet yang benar-benar alami tanpa ada polusi sama sekali, pasti kita pilih. Tetapi, pilihan itu tampaknya tidak akan terwujud. Paling tidak, sampai muncul sebuah keajaiban dengan ditemukannya tempat impian itu.

Berpikir Realistis

Sebenarnya, daripada bermimpi-mimpi berwisata ke planet impian itu, lebih baik kembali ke alam nyata. Ya, lebih baik berpikir apa yang sebaiknya dilakukan agar minimal bisa mencegah kehancuran bumi. Syukur-syukur, bisa mengembalikan bumi ini ke masa beberapa tahun silam, sebuah masa tanpa polusi.

Cukup berat memang usaha menuju ke sana. Namun, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sebuah batu yang sangat keras pun dapat berlubang jika ditetesi air terus-menerus. Begitu juga nasib bumi. Kalau semua penghuninya bahu-membahu mencoba menjaga kelestarian bumi ini, suatu saat bumi ini akan kembali segar seperti ratusan tahun yang lalu.

Saatnya berefleksi

Hari ini, tepatnya 22 April 2010, diperingati sebagai hari bumi, sebuah hari untuk merefleksikan kembali arti bumi ini. Sebenarnya bukan tanggal itu yang diistimewakan, tetapi bagaimana upaya kita "mengistimewakan" bumi setiap hari. Pasti banyak yang berpikir, peringatan ini akan menjadi seremonial belaka. Tetapi, lebih dari itu, momen ini sangat diperlukan untuk menyadarkan manusia agar lebih arif terhadap bumi tercinta ini.

Tidak bisa dimungkiri, memelihara kelestarian bumi sama artinya dengan memelihara jiwa kita sendiri. Dan, memberikan peluang bagi keasrian bumi, berarti juga memberikan peluang bagi diri kita sendiri untuk menyatu dengan alam ini.

Seharusnya kita sadar, selama ini kita hanya sedikit memberi dan banyak menerima dari bumi ini. Tidak jarang, kita membumihanguskan segala sesuatu yang ada di permukaannya. Kita lebih senang membiarkan bumi merana dan menderita dengan perbuatan kita sehari-hari, daripada memikirkan masa depan bumi ini.

Oleh karena itu, saatnya kita berbenah diri. Mari kita rawat bumi ini agar bisa kembali segar lagi. Setiap waktu kita bersama bumi, setiap detik pula kita membuat bumi lebih fresh dalam kebersamaan dengan kita. Tuhan hanya menganugerahkan satu planet bumi bagi umat manusia. Umur bumi sangat terbatas, sayang kalau manusia membuatnya lebih singkat lagi.

Mari kita mulai dari satu hal yang paling kecil. Misalnya menanam sebatang pohon. Ya, sebatang pohon saja! Bayangkan, jika satu orang menanam satu pohon, berapa miliar pohon yang akan tumbuh jika semua ikut berpartisipasi. Adanya pepohonan akan mempertahankan keberadaan oksigen di sekitar lingkungan manusia. Bahkan, satu pohon besar dengan daunnya yang lebat mampu menjaga kesegaran udara satu kilometer di sekitar pohon itu. Kekuatannya sama dengan satu unit mesin pendingin untuk menyejukkan udara satu kamar besar. Sungguh berartinya pohon bagi kehidupan umat manusia. Jangan sampai kita malah meghancurkannya.

Kini, sudah saatnya kita tersadar untuk tidak merusak segala hal yang ada di bumi. Akankah kita membiarkan anak cucu kita nanti meratap menangis melihat bumi yang merana? Tentu tidak. Oleh karena itu, sekarang saatnya kita sadar akan arti penting bumi ini. Ya, mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang juga.

Jika ini bisa kita wujudkan, bukan tidak mungkin, impian untuk menikmati keindahan fenomena hujan meteor akan bisa dialami oleh seluruh penghuni bumi ini. Semoga semua ini bukan hanya impian belaka! (Sumber: Jawa Pos)

Jumat, 16 April 2010

BENTROK DIMAKAM MBAH PRIOK "Terulangnya" TRAGEDI PRIOK 1984

Bentrokan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan masyarakat di makam Mbah Priok kemarin mengingatkan kita pada peristiwa berdarah 26 tahun silam, tepatnya Tragedi Priok 1984. Dua peristiwa yang sama-sama menelan korban jiwa itu terjadi di kawasan yang sama: Tanjung Priok, Jakarta Utara, kawasan yang berkarakter keras dengan masyarakat yang sangat agamais.

Isu yang menjadi persoalan dua peristiwa itu memang berbeda. Namun, banyak hal yang membuat tragedi itu mempunyai kemiripan. Paling tidak, darah sama-sama membasahi tanah Priok. Itu berarti sama-sama menunjukkan adanya represi aparat keamanan yang membuat situasi menjadi tidak terkendali.

Dalam tragedi 1984, bentrokan muncul karena warga menolak asas tunggal Pancasila. Yang terkini, masyarakat marah karena menolak mentah-mentah keinginan Pemda DKI yang akan menggusur kompleks makam tokoh yang menjadi panutan warga setempat: makam Mbah Priok. Tokoh ini menjadi penting karena menyebarkan Islam di kawasan tersebut pada abad 18.

Menolak asas tunggal Pancasila dan menolak penggusuran makam Mbah Priok adalah dua hal yang berbeda. Namun, keduanya mempunyai persamaan, yakni warga merasa tersinggung karena simbolnya terganggu. Tetapi, mengapa kedua peristiwa itu berakhir dengan anarkistis? Apakah itu menunjukkan aparat kita tidak bisa membaca kondisi psikologis massa? Apakah aparat Satpol PP tidak memahami karakter keras dan militan masyarakat setempat?

Korban sudah berjatuhan. Pada Peristiwa Priok 1984, aparat keamanan mengatakan 18 tewas, namun info lain mencapai ratusan jiwa. Saat itu pemerintah Soeharto yang sangat militeristis mengesahkan pendekatan progresif. Yang patut kita sesali, mengapa di era reformasi dan supremasi sipil ini tindakan represif semacam itu muncul lagi?

Peristiwa bentrokan di makam Mbah Priok, yang setidaknya telah memakam dua korban tewas serta puluhan luka berat, menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Terutama bagi para aparat pemerintahan. Salah satu pelajaran penting itu adalah kurangnya komunikasi aparat dengan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah (DKI Jakarta) tidak bisa secara lengkap memberikan informasi kepada masyarakat. Buktinya, aparat mengatakan tidak akan menggusur makam Mbah Priok. Pemda DKI justru akan memugar area makam itu. Mengapa di telinga masyarakat terdengar akan terjadi penggusuran makam. Itu berarti tidak ada komunikasi yang baik.

Hal lain lagi, mengapa Pemda DKI lebih mengedepankan pendekatan represif itu dengan menurunkan pasukan Satpol PP yang begitu besar. Padahal, kondisi psikologis masyarakat setempat sedang tersulut. Itu menunjukkan bahwa penguasa sangat yakin bahwa metode kekerasan sangat ampuh untuk menyelesaikan masalah. Jangan heran kemudian korban berjatuhan. Ini tentu sangat kita sesalkan.

Peristiwa seperti di makam Mbah Priok itu sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Sejumlah peristiwa penggusuran yang berakhir dengan ricuh serta memakan korban jiwa juga terjadi karena pendekatan represif itu. Sering penguasa mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan fisik, padahal masih ada ruang dialog.

Bagi aparat atau penguasa di mana saja, jadikanlah peristiwa kerusuhan di makam Mbah Priok itu sebagai pelajaran yang sangat berharga. Dahulukan komunikasi dan sosialisasi kepada rakyat dalam setiap proyek pembangunan. Pastikan bahwa rakyat mengetahui secara utuh apa yang diinginkan pemerintah. Pemerintah juga harus mendengar dan mengakomodasi keinginan rakyatnya.

Tentu, kita tidak menginginkan peristiwa di makam Mbah Priok itu terulang. Apalagi, peristiwa Priok 1984 yang sangat represif dengan menembak masyarakat secara membabi buta. Marilah kita mementingkan dialog dan komunikasi yang intensif. Bukan senjata yang membuat darah mengalir. (Sumber jawa Pos,15-4-2010)

Windy, siswa SMA Negeri 2 berikrar masuk agama Islam

PROBOLINGGO - Siswa kelas XI SMAN 2 Kota Probolinggo Windy Prasetyo, 18, mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Ia memutuskan masuk Islam. Kemarin (16/4), Windy berikrar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat di musala sekolahnya seusai salat Jumat.

Disaksikan ratusan siswa, guru, kepala sekolah dan keluarganya, Windy diislamkan oleh petugas KUA Kanigaran bernama Azhar. Sekira pukul 13.30 prosesi berlangsung. Hanya memakan waktu 15 menit. Usai mengucap dua kalimat syahadat, Windy menandatangani surat dan memotong sedikit rambutnya.

Dengan mengenakan baju koko dan berkopyah, Windy siang itu terlihat begitu berbinar-binar. Demikian pula ayahnya, Surahman, yang duduk tepat di sisi kiri putranya.

Yang terjadi di musala SMAN 2 siang itu seperti ulangan peristiwa yang terjadi pada 2006. Bedanya, saat itu yang berikrar masuk Islam adalah murid SMAN 2 Kristin Lidiawati. Dan Kristin Lidiawati adalah kakak kandung Windy.

Kepala Sekolah SMAN 2 Safi'udin menjelaskan, keinginan Windy masuk Islam sebelumnya disampaikan kepada dirinya dan gurunya. Karena itu pihak sekolah bersedia memfasilitasi niat baik salah satu muridnya tersebut. Dan prosesinya dilaksanakan kemarin, bertepatan di hari Jumat dan ada kegitan remaja masjid (remas).

Ceritanya, dua minggu lalu saat berlangsung mata pelajaran agama Islam di kelasnya, Windy diminta keluar kelas. Itu sudah jadi hal biasa. Siswa nonmuslim bakal keluar saat pelajaran agama Islam berlangsung.

"Windy ini disuruh keluar, tidak mau. Kebetulan waktu itu kami sedang mempelajari tentang kitab Allah. Sehari kemudian, Windy datang kepada saya dan kepala sekolah (menyatakan keinginannya masuk Islam). Jadi, tidak ada penekanan dalam hal ini," kata Anshori, guru agama.

Ternyata Windy sudah satu semester terakhir selalu mengikuti pelajaran agama Islam. Saban ada pelajaran agama Islam, dia tidak mau keluar kelas. "Penafsiran kami, yang bersangkutan ingin mengetahui dan memahami agama Islam. Sementara, setiap pelajaran agama Kristen di hari Jumat, juga tidak pernah ikut," tambah Kepala Sekolah Safi'udin.

Kepada Radar Bromo, Windy yang anak kedua dari dua bersaudara itu mengatakan sudah lama ingin menjadi Muslim. "Tapi masih belum punya keberanian, masih ragu-ragu. Saya sudah tidak pernah ke gereja selama satu tahun. Sekarang saya yakin dari hati menjadi Muslim," ujar pemuda yang mengaku belum punya kekasih itu.

Windy mengaku belum bisa salat. Tetapi dia yakin ada ayah dan gurunya yang bisa membimbingnya mempelajari Islam.

Surahman, ayah Windy, berbunga-bunga dengan keputusan putranya. "Alhamdulillah. Ya namanya anak, selalu ingin ikut orang tua untuk memilih yang terbaik. Waktu anak saya bilang mau masuk Islam, saya begitu bersyukur," ucap Surahman yang seorang guru SD di Blado Wetan, Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo.

Surahman bercerita, pernikahannya dengan wanita bernama Sumiyati, dulu dicatatkan di Catatan Sipil (Capil). Mereka berbeda keyakinan. Surahman seorang Muslim, Sumiyati seorang Nasrani.

Sejak lahir, Lidia dan Windy ikut keyakinan ibunya. Namun, saat mulai menginjak remaja, keduanya beralih ikut keyakinan ayahnya, menjadi Muslim. Tapi, Surahman menegaskan tak pernah memaksa agar anak-anaknya masuk Islam. Keputusan mereka masuk Islam murni berasal dari hati mereka yang paling dalam.

Surahman masih ingat saat Ramadan tahun lalu. Windy juga ikut menemaninya dan sang kakak berbuka puasa dan makan sahur. Kini, Surahman sungguh bersyukur. "Enak, sekarang kalau puasa bisa sahur bareng dan salat Jumat bersama-sama. Kalau dulu kan masih sendirian," katanya dengan raut muka menunjukkan kebahagiaan.

Selanjutnya, baik kepala sekolah dan orang tua berharap, dengan iman barunya Windy bisa lebih baik dari sebelumnya. Baik di dunia dan akhirat. "Sekarang hatinya sudah tidak gelisah lagi. Karena yang dicari sudah ditemukan," ucap Safi'udin diamini ayah Windy.
( Sumber radar Bromo 17/4.2010)