Jumat, 16 April 2010

BENTROK DIMAKAM MBAH PRIOK "Terulangnya" TRAGEDI PRIOK 1984

Bentrokan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan masyarakat di makam Mbah Priok kemarin mengingatkan kita pada peristiwa berdarah 26 tahun silam, tepatnya Tragedi Priok 1984. Dua peristiwa yang sama-sama menelan korban jiwa itu terjadi di kawasan yang sama: Tanjung Priok, Jakarta Utara, kawasan yang berkarakter keras dengan masyarakat yang sangat agamais.

Isu yang menjadi persoalan dua peristiwa itu memang berbeda. Namun, banyak hal yang membuat tragedi itu mempunyai kemiripan. Paling tidak, darah sama-sama membasahi tanah Priok. Itu berarti sama-sama menunjukkan adanya represi aparat keamanan yang membuat situasi menjadi tidak terkendali.

Dalam tragedi 1984, bentrokan muncul karena warga menolak asas tunggal Pancasila. Yang terkini, masyarakat marah karena menolak mentah-mentah keinginan Pemda DKI yang akan menggusur kompleks makam tokoh yang menjadi panutan warga setempat: makam Mbah Priok. Tokoh ini menjadi penting karena menyebarkan Islam di kawasan tersebut pada abad 18.

Menolak asas tunggal Pancasila dan menolak penggusuran makam Mbah Priok adalah dua hal yang berbeda. Namun, keduanya mempunyai persamaan, yakni warga merasa tersinggung karena simbolnya terganggu. Tetapi, mengapa kedua peristiwa itu berakhir dengan anarkistis? Apakah itu menunjukkan aparat kita tidak bisa membaca kondisi psikologis massa? Apakah aparat Satpol PP tidak memahami karakter keras dan militan masyarakat setempat?

Korban sudah berjatuhan. Pada Peristiwa Priok 1984, aparat keamanan mengatakan 18 tewas, namun info lain mencapai ratusan jiwa. Saat itu pemerintah Soeharto yang sangat militeristis mengesahkan pendekatan progresif. Yang patut kita sesali, mengapa di era reformasi dan supremasi sipil ini tindakan represif semacam itu muncul lagi?

Peristiwa bentrokan di makam Mbah Priok, yang setidaknya telah memakam dua korban tewas serta puluhan luka berat, menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Terutama bagi para aparat pemerintahan. Salah satu pelajaran penting itu adalah kurangnya komunikasi aparat dengan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah (DKI Jakarta) tidak bisa secara lengkap memberikan informasi kepada masyarakat. Buktinya, aparat mengatakan tidak akan menggusur makam Mbah Priok. Pemda DKI justru akan memugar area makam itu. Mengapa di telinga masyarakat terdengar akan terjadi penggusuran makam. Itu berarti tidak ada komunikasi yang baik.

Hal lain lagi, mengapa Pemda DKI lebih mengedepankan pendekatan represif itu dengan menurunkan pasukan Satpol PP yang begitu besar. Padahal, kondisi psikologis masyarakat setempat sedang tersulut. Itu menunjukkan bahwa penguasa sangat yakin bahwa metode kekerasan sangat ampuh untuk menyelesaikan masalah. Jangan heran kemudian korban berjatuhan. Ini tentu sangat kita sesalkan.

Peristiwa seperti di makam Mbah Priok itu sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Sejumlah peristiwa penggusuran yang berakhir dengan ricuh serta memakan korban jiwa juga terjadi karena pendekatan represif itu. Sering penguasa mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan fisik, padahal masih ada ruang dialog.

Bagi aparat atau penguasa di mana saja, jadikanlah peristiwa kerusuhan di makam Mbah Priok itu sebagai pelajaran yang sangat berharga. Dahulukan komunikasi dan sosialisasi kepada rakyat dalam setiap proyek pembangunan. Pastikan bahwa rakyat mengetahui secara utuh apa yang diinginkan pemerintah. Pemerintah juga harus mendengar dan mengakomodasi keinginan rakyatnya.

Tentu, kita tidak menginginkan peristiwa di makam Mbah Priok itu terulang. Apalagi, peristiwa Priok 1984 yang sangat represif dengan menembak masyarakat secara membabi buta. Marilah kita mementingkan dialog dan komunikasi yang intensif. Bukan senjata yang membuat darah mengalir. (Sumber jawa Pos,15-4-2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar